Merahkan Rabumu!

Ayo Merahkan Rabumu!

Ayo donorkan darahmu!

Ayo Donor Darah 8 November 2017 dan Donasi Buku 3-22 November 2017

Selamat Hari Raya Idul Adha

Himagrotek mengucapakan Selamat Hari Raya Idul Adha!

Ayo ikutan agrocomunity!

Bisa lebih tau tentang peminatan loh..

Selamat Hari Batik Nasional!

Himagrotek mengucapkan selamat hari Batik Nasional, Bangga menggunakan Batik!

Selamat Tahun Baru Hijriah!

Himagrotek mengucapkan selamat Tahun Baru Hijriah!

Selamat Hari Tani 2017!

Terima Kasih Atas Pengorbananmu Selama ini!

Friday, August 28, 2015

Pengembangan Bioetanol dari Sagu

Bioetanol dapat dibuat dari tanaman yang mengandung komponen pati, salah satunya adalah sagu. Berdasarkan hasil penelitian, sagu memiliki kandungan pati cukup tinggi dibandingkan palma lain. Bioetanol dihasilkan melalui proses fermentasi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain jenis mikroorganisme dan substrat.

Secara umum, produksi bioetanol ini mencakup 3 (tiga) rangkaian proses, yaitu persiapan bahan baku, fermentasi, dan pemurnian. Sebagai bahan baku bioetanol, pati sagu akan dihidrolisis sehingga menghasilkan hidrolisat pati yang merupakan cairan kental dengan komponen utamanya glukosa. Hidrolisis pati menjadi glukosa dapat dilakukan dengan bantuan asam atau enzim pada waktu, suhu dan pH tertentu. Hasil hidrolisis pati selanjutnya difermentasi dengan bantuan mikroorganisme. Mikroorganisme yang dipakai dalam fermentasi etanol adalah khamirKhamir yang biasa digunakan untuk menghasilkan etanol adalah Saccharomyces cerviseae.

Thursday, August 27, 2015

Pupuk dan Permasalahannya

Pupuk kimia atau pupuk buatan memegang peranan penting dalam meningkatkan produksi pertanian, sebagaimana tercermin dari peningkatan produksi padi selama ini. Tanpa penggunaan pupuk bersama-sama dengan varietas unggul padi yang memang responsif terhadap pemupukan, produksi padi tentu tidak dapat segera dipacu.

Selain pupuk tunggal seperti Urea, SP-36, dan ZA, pemerintah kini juga memberikan subsidi pupuk majemuk bagi petani, seperti NPK Ponska (15-15-15), NPK Pelangi (20-10-10), dan NPK Kujang (30-6-8). Harga setiap kilogram pupuk majemuk setelah disubsidi menjadi sama, Rp 2.300 per kg. Dibandingkan dengan beberapa negara tetangga seperti Filipina dan Vietnam, harga pupuk di Indonesia lebih murah setelah disubsidi. Di Filipina, misalnya, harga pupuk Urea dan NPK 14-14-14 lebih mahal, yaitu 1.200 pesos atau Rp. 4.300 per kg. Oleh karena itu, keuntungan usahatani tanaman pangan yang diperoleh petani di Indonesia mestinya lebih tinggi dibandingkan dengan di negara tetangga.

Pupuk majemuk dibuat dengan dua cara yaitu melalui proses kimia dan blending (diaduk). Keuntungan melalui proses kimia, setiap butir pupuk mengandung unsur hara yang sama, sesuai dengan formulasinya. Sementara itu keuntungan dengan cara diaduk lebih mudah mengubah perbandingan kandungan hara N, P, dan K dalam pupuk, sesuai dengan kebutuhan tanaman. Tetapi setiap butir pupuk hanya mengandung satu sumber pupuk dan bila diaduk menggunakan mesin pencampur sederhana, apalagi bila diameter dan bentuknya berbeda, maka butiran pupuk mudah pecah sehingga tidak seragam.

Perubahan bentuk pupuk dari bentuk tunggal menjadi bentuk majemuk menguntungkan dan memudahkan petani karena cukup satu kali mengaplikasikannya di lapangan, terutama untuk pupuk dasar, dibandingkan dengan pupuk tunggal yang harus membeli dan mengaplikasikan dua sampai tiga macam jenis pupuk. Selain itu, penggunaan pupuk majemuk membantu pemberian unsur hara lebih berimbang, terutama hara Kalium karena sudah tergabung dalam pupuk majemuk NPK, membatasi penggunaan pupuk Nitrogen secara berlebihan, karena biasanya petani tidak menyukai pemberian urea pada saat tanam. Ada kalanya pupuk majemuk juga mengandung hara S (belerang), sehingga penggunaan pupuk ZA yang mengandung hara S dapat dikurangi.

Kelemahan dari perubahan bentuk pupuk tunggal menjadi pupuk majemuk adalah harga per kilogram unsur hara jadi lebih mahal, dan petani lebih sulit menggunakan pupuk secara spesifik lokasi, karena kalau jerami atau sisa tanaman dikembalikan ke dalam tanah maka tanah tidak lagi memerlukan pupuk P dan K dengan takaran tinggi.

Kebutuhan dan efisiensi pemupukan ditentukan oleh tiga faktor yang saling berkaitan yaitu:
  • ketersediaan hara dalam tanah, termasuk pasokan dalam air irigasi dan sumber hara lainnya,
  • kebutuhan hara tanaman, dan
  • target hasil yang ingin dicapai. 
Oleh sebab itu rekomendasi pemupukan harus bersifat spesifik lokasi.

Permasalahan dan Saran Kebijakan
Komposisi pupuk majemuk di Indonesia belum mempertimbangkan ketersediaan hara dalam tanah, termasuk pasokan air irigasi dan sumber hara lainnya. Di wilayah dengan ketersediaan hara P dan/atau K yang tinggi seperti umumnya di lahan sawah di Jawa dan Bali, petani tidak efisien menggunakan pupuk majemuk dengan kandungan P dan K yang tinggi. Sebaliknya, kandungan N yang tinggi dapat menyebabkan tanaman rentan terhadap serangan hama dan penyakit.

Kurang tersedia dan mahalnya pupuk Kalium (K) dan Fosfor (P) dalam bentuk pupuk tunggal seperti KCL dan SP-36 karena harus diimpor, sehingga petani mengalami kesulitan dalam pengaturan kebutuhan pupuk spesifik lokasi, terutama untuk tanaman padi sawah. Pemecahannya adalah pabrik-pabrik pupuk, baik BUMN maupun pengusaha lokal, dapat membuat paling tidak dua komposisi pupuk majemuk. Pertama, memproduksi pupuk dengan kandungan hara N seperti pada Ponska tapi kandungan P-nya relatif rendah dan kandungan K-nya relatif tinggi. Kedua, memproduksi pupuk dengan kandungan hara N seperti juga pada Ponska tapi kandungan P-nya relatif tinggi dan kandungan K-nya relatif rendah (sebagai pemeliharaan), sehingga tidak terjadi penambangan hara P dan K secara berlebihan di tanah. Sebagai contoh, di Filipina terdapat formula pupuk majemuk NPK 14-14-14, NPK 17-0-17, dan NPK 16-20-0.

Komposisi kandungan hara dalam pupuk majemuk NPK Ponska lebih sesuai untuk tanaman padi sawah. Di Indonesia, lahan sawah dengan kandungan hara P dan K sedang sampai tinggi cukup luas, sehingga pupuk NPK Ponska akan lebih efisien diberikan sebagai pupuk dasar, dan kekurangan hara N pada stadia anakan aktif (pupuk susulan I), dan stadia awal berbunga (pupuk susulan II) dapat diberikan dalam bentuk pupuk Urea.

Kelemahannya, pilihan ini tidak memberikan insentif bagi petani yang panen menggunakan mesin atau pedal tresher (jerami potong atas, 50 cm dari pangkal batang, dan tingkat kehilangan hasil gabah lebih rendah, serta petani yang mengembalikan jerami dalam bentuk kompos atau dibenamkan pada saat pengolahan tanah. Jerami padi mengandung hara Si dan K yang tinggi, sehingga sistem panen menggunakan tresher akan meningkatkan ketersediaan hara Si dan K di tanah. Konsentrasi Si dalam jerami berkisar antara 7-10 persen. Pengunaan pupuk organik dari kompos jerami sebanyak 2 ton per Ha per musim tanam dapat menyumbang hara K setara 50 kg KCL per ha per musim.

Panen dengan tresher akan meningkatkan porsi hara K dan Si yang dapat dikembalikan ke tanah, sehingga menghemat penggunaan pupuk K dan tidak diperlukan penambahan pupuk Si. Peningkatan kandungan K dan Si di tanah akan membuat batang tanaman menjadi lebih kuat dan kekar, sehingga lebih tahan terhadap serangan hama penggerek batang, wereng coklat, dan tanaman menjadi tidak mudah rebah sehingga potensi hasil gabah yang tinggi dapat dicapai.

Walaupun harga pupuk UreaZASP-36, dan pupuk majemuk telah dinaikkan sejak 1 April 2010 ternyata masih membebani APBN karena masih besarnya subsidi yang diperlukan. Untuk itu, kebijakan tidak membakar jerami setelah panen dan mengembalikannya dalam bentuk kompos atau pupuk organik perlu dilakukan secara terus-menerus, karena akan menghemat penggunaan pupuk kimia, yang akhirnya akan menghemat subsidi pupuk.

Petani juga memerlukan penyuluhan dan pemahaman bahwa penggunaan pupuk yang efisien (tepat takaran, tepat sumber, tepat cara, dan tepat waktu aplikasi) sangat menentukan jumlah pupuk yang harus diberikan dan target hasil gabah yang dapat dicapai. Dengan teknologi pemupukan hara spesifik lokasi (PHSL), penggunaan pupuk oleh petani diharapkan dapat lebih rasional sesuai dengan kebutuhan tanaman dan sekaligus meningkatkan produksi dan pendapatan petani.

sumber: Prof. Dr Zulkifli Zaini (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan) 

Sunday, August 2, 2015

Tips Budidaya Bawang Merah


Bawang merah (Allium ascalonicum L.) termasuk famili Liliaceae, merupakan sayuran semusim, berumur pendek, serta diperbanyak secara vegetatif menggunakan umbi, maupun generatif dengan biji (TSS=True Shallot Seed).
Tanaman bawang merah cocok tumbuh di dataran rendah sampai tinggi  (0–1000 m dpl), dengan ketinggian optimum untuk pertumbuhan dan perkembangan bawang merah adalah 0–450 m dpl. Tanaman ini peka terhadap curah hujan dan intensitas hujan yang tinggi serta cuaca berkabut, juga memerlukan penyinaran cahaya matahari maksimal (minimal 70% penyinaran) dengan suhu udara 25-32oC, dan kelembaban nisbi 50-70%.
Tanah yang diperlukan untuk tanaman bawang merah adalah yang berstruktur remah, tekstur sedang sampai liat, drainase dan aerasi yang baik, mengandung bahan organik yang cukup, dan pH tanah netral (5,6– 6,5). Tanah yang paling cocok untuk tanaman bawang merah adalah tanah Aluvial atau kombinasinya dengan tanah Glei-Humus atau Latosol. Tanah lembab dengan air yang tidak menggenang disukai oleh tanaman bawang merah. Waktu tanam bawang merah yang baik adalah pada musim kemarau dengan ketersediaan air yang cukup, yaitu pada bulan April/Mei setelah  padi dan pada bulan Juli/Agustus. Penanaman bawang merah di musim kemarau biasanya dilaksanakan pada lahan bekas padi sawah atau tebu, sedangkan penanaman di musim hujan dilakukan pada lahan tegalan. Bawang merah dapat ditanam secara tumpangsari dengan tanaman cabai merah.

Dalam budidaya tanaman bawang merah, perlu diperhatikan beberapa hal seperti benih yang digunakan, persiapan lahan, cara tanam dan pemupukan, pemeliharaan tanaman, pengendalian organisme penganggu tumbuhan, serta panen dan pascapanen.

sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura