Pupuk kimia atau pupuk buatan memegang peranan penting dalam meningkatkan produksi pertanian, sebagaimana tercermin dari peningkatan produksi padi selama ini. Tanpa penggunaan pupuk bersama-sama dengan varietas unggul padi yang memang responsif terhadap pemupukan, produksi padi tentu tidak dapat segera dipacu.
Selain pupuk tunggal seperti
Urea,
SP-36, dan
ZA, pemerintah kini juga memberikan subsidi pupuk majemuk bagi petani, seperti
NPK Ponska (15-15-15),
NPK Pelangi (20-10-10), dan
NPK Kujang (30-6-8). Harga setiap kilogram pupuk majemuk setelah disubsidi menjadi sama, Rp 2.300 per kg. Dibandingkan dengan beberapa negara tetangga seperti Filipina dan Vietnam, harga pupuk di Indonesia lebih murah setelah disubsidi. Di Filipina, misalnya, harga pupuk
Urea dan
NPK 14-14-14 lebih mahal, yaitu 1.200 pesos atau Rp. 4.300 per kg. Oleh karena itu, keuntungan usahatani tanaman pangan yang diperoleh petani di Indonesia mestinya lebih tinggi dibandingkan dengan di negara tetangga.
Pupuk majemuk dibuat dengan dua cara yaitu melalui proses kimia dan
blending (diaduk). Keuntungan melalui proses kimia, setiap butir pupuk mengandung unsur hara yang sama, sesuai dengan formulasinya. Sementara itu keuntungan dengan cara diaduk lebih mudah mengubah perbandingan kandungan hara
N,
P, dan
K dalam pupuk, sesuai dengan kebutuhan tanaman. Tetapi setiap butir pupuk hanya mengandung satu sumber pupuk dan bila diaduk menggunakan mesin pencampur sederhana, apalagi bila diameter dan bentuknya berbeda, maka butiran pupuk mudah pecah sehingga tidak seragam.
Perubahan bentuk pupuk dari bentuk tunggal menjadi bentuk majemuk menguntungkan dan memudahkan petani karena cukup satu kali mengaplikasikannya di lapangan, terutama untuk pupuk dasar, dibandingkan dengan pupuk tunggal yang harus membeli dan mengaplikasikan dua sampai tiga macam jenis pupuk. Selain itu, penggunaan pupuk majemuk membantu pemberian unsur hara lebih berimbang, terutama hara
Kalium karena sudah tergabung dalam pupuk majemuk
NPK, membatasi penggunaan pupuk
Nitrogen secara berlebihan, karena biasanya petani tidak menyukai pemberian urea pada saat tanam. Ada kalanya pupuk majemuk juga mengandung hara
S (belerang), sehingga penggunaan pupuk
ZA yang mengandung hara
S dapat dikurangi.
Kelemahan dari perubahan bentuk pupuk tunggal menjadi pupuk majemuk adalah harga per kilogram unsur hara jadi lebih mahal, dan petani lebih sulit menggunakan pupuk secara spesifik lokasi, karena kalau jerami atau sisa tanaman dikembalikan ke dalam tanah maka tanah tidak lagi memerlukan pupuk
P dan
K dengan takaran tinggi.
Kebutuhan dan efisiensi pemupukan ditentukan oleh tiga faktor yang saling berkaitan yaitu:
- ketersediaan hara dalam tanah, termasuk pasokan dalam air irigasi dan sumber hara lainnya,
- kebutuhan hara tanaman, dan
- target hasil yang ingin dicapai.
Oleh sebab itu rekomendasi pemupukan harus bersifat spesifik lokasi.
Permasalahan dan Saran Kebijakan
Komposisi pupuk majemuk di Indonesia belum mempertimbangkan ketersediaan hara dalam tanah, termasuk pasokan air irigasi dan sumber hara lainnya. Di wilayah dengan ketersediaan hara
P dan/atau
K yang tinggi seperti umumnya di lahan sawah di Jawa dan Bali, petani tidak efisien menggunakan pupuk majemuk dengan kandungan
P dan
K yang tinggi. Sebaliknya, kandungan
N yang tinggi dapat menyebabkan tanaman rentan terhadap serangan hama dan penyakit.
Kurang tersedia dan mahalnya pupuk
Kalium (K) dan
Fosfor (P) dalam bentuk pupuk tunggal seperti
KCL dan
SP-36 karena harus diimpor, sehingga petani mengalami kesulitan dalam pengaturan kebutuhan pupuk spesifik lokasi, terutama untuk tanaman padi sawah. Pemecahannya adalah pabrik-pabrik pupuk, baik BUMN maupun pengusaha lokal, dapat membuat paling tidak dua komposisi pupuk majemuk. Pertama, memproduksi pupuk dengan kandungan hara
N seperti pada
Ponska tapi kandungan
P-nya relatif rendah dan kandungan
K-nya relatif tinggi. Kedua, memproduksi pupuk dengan kandungan hara
N seperti juga pada
Ponska tapi kandungan
P-nya relatif tinggi dan kandungan
K-nya relatif rendah (sebagai pemeliharaan), sehingga tidak terjadi penambangan hara
P dan
K secara berlebihan di tanah. Sebagai contoh, di Filipina terdapat formula pupuk majemuk
NPK 14-14-14,
NPK 17-0-17, dan
NPK 16-20-0.
Komposisi kandungan hara dalam pupuk majemuk
NPK Ponska lebih sesuai untuk tanaman padi sawah. Di Indonesia, lahan sawah dengan kandungan hara
P dan
K sedang sampai tinggi cukup luas, sehingga pupuk
NPK Ponska akan lebih efisien diberikan sebagai pupuk dasar, dan kekurangan hara
N pada stadia anakan aktif (pupuk susulan I), dan stadia awal berbunga (pupuk susulan II) dapat diberikan dalam bentuk pupuk
Urea.
Kelemahannya, pilihan ini tidak memberikan insentif bagi petani yang panen menggunakan mesin atau pedal tresher (jerami potong atas, 50 cm dari pangkal batang, dan tingkat kehilangan hasil gabah lebih rendah, serta petani yang mengembalikan jerami dalam bentuk kompos atau dibenamkan pada saat pengolahan tanah. Jerami padi mengandung hara
Si dan
K yang tinggi, sehingga sistem panen menggunakan tresher akan meningkatkan ketersediaan hara
Si dan
K di tanah. Konsentrasi
Si dalam jerami berkisar antara 7-10 persen. Pengunaan pupuk organik dari kompos jerami sebanyak 2 ton per Ha per musim tanam dapat menyumbang hara
K setara 50 kg
KCL per ha per musim.
Panen dengan
tresher akan meningkatkan porsi hara
K dan
Si yang dapat dikembalikan ke tanah, sehingga menghemat penggunaan pupuk
K dan tidak diperlukan penambahan pupuk
Si. Peningkatan kandungan
K dan
Si di tanah akan membuat batang tanaman menjadi lebih kuat dan kekar, sehingga lebih tahan terhadap serangan hama penggerek batang, wereng coklat, dan tanaman menjadi tidak mudah rebah sehingga potensi hasil gabah yang tinggi dapat dicapai.
Walaupun harga pupuk
Urea,
ZA,
SP-36, dan pupuk majemuk telah dinaikkan sejak 1 April 2010 ternyata masih membebani APBN karena masih besarnya subsidi yang diperlukan. Untuk itu, kebijakan tidak membakar jerami setelah panen dan mengembalikannya dalam bentuk kompos atau pupuk organik perlu dilakukan secara terus-menerus, karena akan menghemat penggunaan pupuk kimia, yang akhirnya akan menghemat subsidi pupuk.
Petani juga memerlukan penyuluhan dan pemahaman bahwa penggunaan pupuk yang efisien (tepat takaran, tepat sumber, tepat cara, dan tepat waktu aplikasi) sangat menentukan jumlah pupuk yang harus diberikan dan target hasil gabah yang dapat dicapai. Dengan teknologi pemupukan hara spesifik lokasi (PHSL), penggunaan pupuk oleh petani diharapkan dapat lebih rasional sesuai dengan kebutuhan tanaman dan sekaligus meningkatkan produksi dan pendapatan petani.